Berbicara tentang Properti Syariah memang menarik, begitu juga dengan tantangannya, Booming properti syari’ah menunjukkan kesadaran masyarakat terhadap agamanya semakin membaik. Betapa tidak, Agama yang selama ini hanya menyentuh aspek ibadah mahdhoh mulai menyusup sampai ke dunia properti, hal yang patut disyukuri. Seiring booming selalu ada tantangan. Saya mencoba memetakan tantangan-tantangan krusial yang harus dihadapi para pengembang syari’ah.
Dengan mengusung slogan tanpa bank, tanpa riba, dan tanpa akad bermasalah para pengembang syari’ah harus bisa bermain cantik agar tidak menjadi bumerang bagi dirinya.
Oh ya saya menyebut dengan istilah developer properti syariah untuk memberikan label pembeda atas dominasi pengembang konvensional saat ini. Sekalipun demikian, tidak berarti bahwa pengembang yang tidak menyematkan label syari’ah menjadi otomatis tidak syari’ah.
Demikian pula sebaliknya, sematan pengembang syari’ah pun tidak otomatis menjadikannya sesuai syari’ah. Tetap harus dicek dalemannya, bukan casing-nya saja.
Modal masih menjadi halangan klasik
Tantangan modal masih menjadi tantangan utama yang paling mengasyikkan. Tidak ada yang berani bilang menjadi pengembang bisa dilakukan tanpa modal. Besar-kecilnya tentu relatif. Bagi pengembang konvensional ya tinggal lempar aja ke bank. Hal ini tentu tidak mungkin dilakukan oleh pengembang syariah.
Coba kita amati. Lahan adalah komponen utama bagi pengembang. Biasanya lahan mengambil porsi modal yang sangat besar. Bagaimana mungkin bisa memiliki lahan tanpa bank? Inilah tantangan awalnya. Tanpa lahan tak ada perumahan. Tanpa modal tak ada lahan. Asyik khan….
Bagi yang masuk menjadi pengembang syari’ah dengan modal besar tentu hal ini bukan masalah. Bagaimana dengan yang baru merintis? Sekali lagi saya katakan, disitulah asyiknya…
Pola kerjasama seperti bayar per-unit laku ataupun syirkah sebenarnya bisa dilakukan. Namun ini juga tidak gampang. Bagi yang sudah punya track record mungkin bisa. Tapi bagi pemula ? Dicoba saja dulu deh… Asyik apa asyik…?
Di situlah kreatifitas pengembang syari’ah diuji. Tantangan semakin mengasyikkan karena pengembang syari’ah wajib mau tunduk dengan ketentuan syari’ah.
Perizinan pun masih menjadi tantangan yang mengasyikkan bagi pengembang syariah. Tidak sedikit modal yang diperlukan pada tahap ini. Dari level Kelurahan sampai ke atas.
Dari yang resmi sampai ‘pungutan liar yang sudah dijinakkan’. Tantangan di sini tidak cuma modal, tapi juga menghindari suap, hadiah buat pejabat, dan lain-lain.
Tantangan mengasyikkan berikutnya ada pada saat pembangunan baik sarana dan bangunannya. Tahap ini juga memerlukan sangat banyak modal. Bagaimana menjaganya agar bisa tetap tanpa bank? Di titik ini lagi-lagi perlu perhatian serius. Masih tetap asyik khan…
Apalagi jika ditambah dengan pola penjualannya, jelas tantangan pengembang syari’ah semakin mengasyikkan. Kalo pengembang konvensional bisa melempar KPR ke bank tentu pengembang syariah tidak bisa melakukannya.
Jika demikian maka pengembang syariah harus mencari cara lain. Bisa dengan menjual cash, walaupun hal ini tentu bukan sesuatu yang mudah, namun juga bukan mustahil.
Atau menawarkan skema kredit langsung ke pengembang sebagaimana dunia properti tempo doeloe. Lagi-lagi ini perlu modal. Bisa pula menerapkan DP besar (biasanya 30%) dan serah terima rumah cukup lama (biasanya 18 bulan).
Skema seperti ini di Kalimantan Selatan misalnya sangat tidak familiar. Perlu banyak waktu dan energi untuk mengedukasi pasar.
Oke kita anggap skema kredit langsung ke pengembang bisa dilakukan. Masih ada banyak hal lain yang perlu diperhatikan terutama terkait perilaku konsumen, biasanya kemampuan dan keamanahan dalam mengangsur.
Dalam hal ini belum ada data dari para pengembang syari’ah berapa persen tingkat kredit macetnya, terutama untuk jangka waktu kredit di atas 5 tahun. Bagaimana mengantisipasinya sementara denda tidak boleh diterapkan karena termasuk riba? Silakan kita cari formulasi solusi atas tantangan mengasyikkan ini.
Akan lebih mengasyikkan lagi jika kita membahas tentang kredit macet. Iya, bagaimana jika terjadi kredit macet? Seharusnya sih bisa memanfaatkan jaminan yang ada. Hanya saja, pendapat fiqih terkuat tentang jaminan adalah tidak boleh menjaminkan barang yang sedang diperjualbelikan.
Artinya jaminan harus barang lain. Pertanyaannya adalah berapa banyak konsumen yang punya barang lain sebagai jaminan? Apa pengembang syariah siap tanpa jaminan?
Memang sih rekan-rekan pengembang syari’ah sudah menyiapkan instrumen-instrumennya untuk menjawab tantangan di atas. Namun menurut saya, instrumen tersebut masih belum terbukti. Mengapa? Karena memang semua baru dimulai. Belum ada yang tuntas menjalaninya. Tapi begitulah aksi pionir.
Ini baru sekelumit. Saya yakin masih banyak lagi tantangan-tantangan lainnya. Ini sekedar pemetaan untuk mengetahui dimana titik-titik krusialnya. Sekalipun demikian, tetap harus Focus dan semangat.
Baca Juga:Sebagaimana kita ketahui, bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, olehkarnyaya Developer Properti Syariah berpeluang bes...
Perkembangan Properti syariah yang semakin berkembang tentu saja tidak terlepas dari proses akad kerditnya. Kredit Pemilikan Rumah Me...